Kamis, 20 Februari 2014

teori validasi

TEORI VALIDITAS

Konsep Validitas
Menurut Azwar (1986) para ahli psikometri telah menetapkan kriteria bagi suatu alat ukur psikologis untuk dapat dinyatakan sebagai alat ukur yang baik dan mampu memberikan informasi yang tidak menyesatkan. Kriteria itu antara lain adalah valid, reliabel, norma dan praktis.
Sifat reliabel dan valid diperlihatkan oleh tingginya reliabilitas dan validitas hasil ukur suatu tes. Suatu alat ukur yang tidak reliabel atau tidak valid akan memberikan informasi yang keliru mengenai keadaan subjek atau individu yang dikenai tes itu. Apabila informasi yang keliru itu dengan sadar atau tidak dengan sadar digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan suatu keputusan, maka keputusan itu tentu bukan merupakan suatu keputusan yang tepat.
Seringkali pula keputusan itu tidak menyangkut individu secara langsung akan tetapi mengenai suatu kelompok. Dalam berbagai studi dan penelitian tidak jarang dipergunakan alat ukur untuk mengetahui keadaan atau status psikologis sekelompok individu tertentu.
Berikut ini akan dibahas antara lain adalah pengertian validitas, koefisien validitas, tipe-tipe umum pengukuran validitas, dan konsep pengukuran validitas.
a. Pengertian Validitas
Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar 1986).
Suatu skala atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila instrumen tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Sedangkan tes yang memiliki validitas rendah akan menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran.
Terkandung di sini pengertian bahwa ketepatan pada validitas suatu alat ukur tergantung pada kemampuan alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat. Suatu tes yang dimaksudkan untuk mengukur variabel A dan kemudian memberikan hasil pengukuran mengenai variabel A, dikatakan sebagai alat ukur yang memiliki validitas tinggi. Suatu tes yang dimaksudkan mengukur variabel A akan tetapi menghasilkan data mengenai variabel A' atau bahkan B, dikatakan sebagai alat ukur yang memiliki validitas rendah untuk mengukur variabel A dan tinggi validitasnya untuk mengukur variabel A' atau B (Azwar 1986).
Sisi lain dari pengertian validitas adalah aspek kecermatan pengukuran. Suatu alat ukur yang valid tidak hanya mampu menghasilkan data yang tepat akan tetapi juga harus memberikan gambaran yang cermat mengenai data tersebut.
Cermat berarti bahwa pengukuran itu dapat memberikan gambaran mengenai perbedaan yang sekecil-­kecilnya di antara subjek yang satu dengan yang lain. Sebagai contoh, dalam bidang pengukuran aspek fisik, bila kita hendak mengetahui berat sebuah cincin emas maka kita harus menggunakan alat penimbang berat emas agar hasil penimbangannnya valid, yaitu tepat dan cermat. Sebuah alat penimbang badan memang mengukur berat, akan tetapi tidaklah cukup cermat guna menimbang berat cincin emas karena perbedaan berat yang sangat kecil pada berat emas itu tidak akan terlihat pada alat ukur berat badan.
Demikian pula kita ingin mengetahui waktu tempuh yang diperlukan dalam perjalanan dari satu kota ke kota lainnya, maka sebuah jam tangan biasa adalah cukup cermat dan karenanya akan menghasikan pengukuran waktu yang valid. Akan tetapi, jam tangan yang sama tentu tidak dapat memberikan hasil ukur yang valid mengenai waktu yang diperlukan seorang atlit pelari cepat dalam menempuh jarak 100 meter dikarenakan dalam hal itu diperlukan alat ukur yang dapat memberikan perbedaan satuan waktu terkecil sampai kepada pecahan detik yaitu stopwatch.
Menggunakan alat ukur yang dimaksudkan untuk mengukur suatu aspek tertentu akan tetapi tidak dapat memberikan hasil ukur yang cermat dan teliti akan menimbulkan kesalahan atau eror. Alat ukur yang valid akan memiliki tingkat kesalahan yang kecil sehingga angka yang dihasilkannya dapat dipercaya sebagai angka yang sebenarnya atau angka yang mendekati keadaan sebenarnya (Azwar 1986).
Pengertian validitas juga sangat erat berkaitan dengan tujuan pengukuran. Oleh karena itu, tidak ada validitas yang berlaku umum untuk semua tujuan pengukuran. Suatu alat ukur biasanya hanya merupakan ukuran yang valid untuk satu tujuan yang spesifik. Dengan demikian, anggapan valid seperti dinyatakan dalam "alat ukur ini valid" adalah kurang lengkap. Pernyataan valid tersebut harus diikuti oleh keterangan yang menunjuk kepada tujuan (yaitu valid untuk mengukur apa), serta valid bagi kelompok subjek yang mana?
Istilah validitas ternyata memiliki keragaman kategori. Ebel (dalam Nazir 1988) membagi validitas menjadi concurrent validity, construct validity, face validity, factorial validity, empirical validity, intrinsic validity, predictive validity, content validity, dan curricular validity.
§ Concurrent Validity adalah validitas yang berkenaan dengan hubungan antara skor dengan kinerja.
§ Construct Validity adalah validitas yang berkenaan dengan kualitas aspek psikologis apa yang diukur oleh suatu pengukuran serta terdapat evaluasi bahwa suatu konstruk tertentu dapat dapat menyebabkan kinerja yang baik dalam pengukuran.
§ Face Validity adalah validitas yang berhubungan apa yang nampak dalam mengukur sesuatu dan bukan terhadap apa yang seharusnya hendak diukur.
§ Factorial Validity dari sebuah alat ukur adalah korelasi antara alat ukur dengan faktor-faktor yang yang bersamaan dalam suatu kelompok atau ukuran-ukuran perilaku lainnya, dimana validitas ini diperoleh dengan menggunakan teknik analisis faktor.
§ Empirical Validity adalah validitas yang berkenaan dengan hubungan antara skor dengan suatu kriteria. Kriteria tersebut adalah ukuran yang bebas dan langsung dengan apa yang ingin diramalkan oleh pengukuran.
§ Intrinsic Validity adalah validitas yang berkenaan dengan penggunaan teknik uji coba untuk memperoleh bukti kuantitatif dan objektif untuk mendukung bahwa suatu alat ukur benar-benar mengukur apa yang seharusnya diukur.
§ Predictive Validity adalah validitas yang berkenaan dengan hubungan antara skor suatu alat ukur dengan kinerja seseorang di masa mendatang.
§ Content Validity adalah validitas yang berkenaan dengan baik buruknya sampling dari suatu populasi.
§ Curricular Validity adalah validitas yang ditentukan dengan cara menilik isi dari pengukuran dan menilai seberapa jauh pengukuran tersebut merupakan alat ukur yang benar-benar mengukur aspek-aspek sesuai dengan tujuan instruksional.
Sementara itu, Kerlinger (1990) membagi validitas menjadi tiga yaitu content validity (validitas isi), construct validity (validitas konstruk), dan criterion-related validity (validitas berdasar kriteria).
b. Koefisien Validitas
Bila skor pada tes diberi lambang x dan skor pada kriterianya mempunyai lambang y maka koefisien antara tes dan kriteria itu adalah rxy inilah yang digunakan untuk menyatakan tinggi-rendahnya validitas suatu alat ukur.
Koefisien validitas pun hanya punya makna apabila apalagi mempunyai harga yang positif. Walaupun semakin tinggi mendekati angka 1 berarti suatu tes semakin valid hasil ukurnya, namun dalam kenyataanya suatu koefisien validitas tidak akan pernah mencapai angka maksimal atau mendekati angka 1. Bahkan suatu koefisien validitas yang tinggi adalah lebih sulit untuk dicapai daripada koefisien reliabilitas. Tidak semua pendekatan dan estimasi terhadap validitas tes akan menghasilkan suatu koefisien. Koefisien validitas diperoleh hanya dari komputasi statistika secara empiris antara skor tes dengan skor kriteria yang besarnya disimbolkan oleh rxy tersebut. Pada pendekatan-pendekatan tertentu tidak dihasilkan suatu koefisien akan tetapi diperoleh indikasi validitas yang lain.
c. Tipe-tipe Umum Pengukuran Validitas
Tipe validitas sebagaimana disajikan sebelumnya, pada umumnya digolongkan dalam tiga kategori, yaitu content validity (validitas isi), construct validity (validitas konstruk), dan criterion-related validity (validitas berdasar kriteria).
1). Validitas Isi
Validitas isi merupakan validitas yang diperhitumgkan melalui pengujian terhadap isi alat ukur dengan analisis rasional. Pertanyaan yang dicari jawabannya dalam validasi ini adalah "sejauhmana item-item dalam suatu alat ukur mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur oleh alat ukur yang bersangkutan?" atau berhubungan dengan representasi dari keseluruhan kawasan.
Pengertian "mencakup keseluruhan kawasan isi" tidak saja menunjukkan bahwa alat ukur tersebut harus komprehensif isinya akan tetapi harus pula memuat hanya isi yang relevan dan tidak keluar dari batasan tujuan ukur.
Walaupun isi atau kandungannya komprehensif tetapi bila suatu alat ukur mengikutsertakan pula item-item yang tidak relevan dan berkaitan dengan hal-hal di luar tujuan ukurnya, maka validitas alat ukur tersebut tidak dapat dikatakan memenuhi ciri validitas yang sesungguhnya.
Gambar 3. Validitas Isi
Apakah validitas isi sebagaimana dimaksudkan itu telah dicapai oleh alat ukur, sebanyak tergantung pada penilaian subjektif individu. Dikarenakan estimasi validitas ini tidak melibatkan komputasi statistik, melainkan hanya dengan analisis rasional maka tidak diharapkan bahwa setiap orang akan sependapat dan sepaham dengan sejauhmana validitas isi suatu alat ukur telah tercapai.
Selanjutnya, validitas isi ini terbagi lagi menjadi dua tipe, yaitu face validity (validitas muka) dan logical validity (validitas logis).
Face Validity (Validitas Muka). Validitas muka adalah tipe validitas yang paling rendah signifikasinya karena hanya didasarkan pada penilaian selintas mengenai isi alat ukur. Apabila isi alat ukur telah tampak sesuai dengan apa yang ingin diukur maka dapat dikatakan validitas muka telah terpenuhi.
Dengan alasan kepraktisan, banyak alat ukur yang pemakaiannya terbatas hanya mengandalkan validitas muka. Alat ukur atau instrumen psikologi pada umumnya tidak dapat menggantungkan kualitasnya hanya pada validitas muka. Pada alat ukur psikologis yang fungsi pengukurannya memiliki sifat menentukan, seperti alat ukur untuk seleksi karyawan atau alat ukur pengungkap kepribadian (asesmen), dituntut untuk dapat membuktikan validitasnya yang kuat.
Gambar 4. Validitas Muka
Logical Validity (Validitas Logis). Validitas logis disebut juga sebagai validitas sampling (sampling validity). Validitas tipe ini menunjuk pada sejauhmana isi alat ukur merupakan representasi dari aspek yang hendak diukur.
Untuk memperoleh validitas logis yang tinggi suatu alat ukur harus dirancang sedemikian rupa sehingga benar-benar berisi hanya item yang relevan dan perlu menjadi bagian alat ukur secara keseluruhan. Suatu objek ukur yang hendak diungkap oleh alat ukur hendaknya harus dibatasi lebih dahulu kawasan perilakunya secara seksama dan konkrit. Batasan perilaku yang kurang jelas akan menyebabkan terikatnya item-item yang tidak relevan dan tertinggalnya bagian penting dari objek ukur yang seharusnya masuk sebagai bagian dari alat ukur yang bersangkuatan.
Validitas logis memang sangat penting peranannya dalam penyusunan tes prestasi dan penyusunan skala, yaitu dengan memanfaatkan blue-print atau tabel spesifikasi.
2). Validitas Konstruk
Validitas konstruk adalah tipe validitas yang menunjukkan sejauhmana alat ukur mengungkap suatu trait atau konstruk teoritis yang hendak diukurnya (Allen & Yen, dalam Azwar 1986).
Pengujian validitas konstruk merupakan proses yang terus berlanjut sejalan dengan perkembangan konsep mengenai trait yang diukur.
Walaupun pengujian validitas konstruk biasanya memerlukan teknik analisis statistik yang lebih kompleks daripada teknik yang dipakai pada pengujian validitas empiris lainnya, akan tetapi validitas konstruk tidaklah dinyatakan dalam bentuk koefisien validitas tunggal.
Konsep validitas konstruk sangatlah berguna pada alat ukur yang mengukur trait yang tidak memiliki kriteria eksternal.


Gambar 5. Validitas Konstruk

3). Validitas Berdasar Kriteria
Pendekatan validitas berdasar kriteria menghendaki tersedianya kriteria eksternal yang dapat dijadikan dasar pengujian skor alat ukur. Suatu kriteria adalah variabel perilaku yang akan diprediksikan oleh skor alat ukur.
Untuk melihat tingginya validitas berdasar kriteria dilakukan komputasi korelasi antara skor alat ukur dengan skor kriteria. Koefisien ini merupakan koefisien validitas bagi alat ukur yang bersangkutan, yaitu rxy, dimana x melambangkan skor alat ukur dan y melambangkan skor kriteria.
Dilihat dari segi waktu untuk memperoleh skor kriterianya, prosedur validasi berdasar kriteria menghasilkan dua macam validitas yaitu validitas prediktif (predictive validity) dan validitas konkuren (concurrent validity).

Gambar 6. Validitas Berdasar Kriteria
Validitas Prediktif. Validitas prediktif sangat penting artinya bila alat ukur dimaksudkan untuk berfungsi sebagai prediktor bagi kinerja di masa yang akan datang. Contoh situasi yang menghendaki adanya prediksi kinerja ini antara lain adalah dalam bimbingan karir; seleksi mahasiswa baru, penempatan karyawan, dan semacamnya.
Contohnya adalah sewaktu kita melakukan pengujian validitas alat ukur kemampuan yang digunakan dalam penempatan karyawan. Kriteria yang terbaik antara lain adalah kinerjanya setelah ia betul-betul ditempatkan sebagai karyawan dan melaksanakan tugasnya selama beberapa waktu. Skor kinerja karyawan tersebut dapat diperoleh dari berbagai cara, misalnya menggunakan indeks produktivitas atau rating yang dilakukan oleh atasannya.
Koefisien korelasi antara skor alat ukur dan kriteria merupakan petunjuk mengenai saling hubungan antara skor alat ukur dengan skor kriteria dan merupakan koefisien validitas prediktif. Apabila koefisien ini diperoleh dari sekelompok individu yang merupakan sampel yang representatif, maka alat ukur yang telah teruji validitasnya akan mempunyai fungsi prediksi yang sangat berguna dalam prosedur alat ukur di masa datang.
Prosedur validasi prediktif pada umumnya memerlukan waktu yang lama dan mungkin pula beaya yang tidak sedikit dikarenakan prosedur ini pada dasarnya bukan pekerjaan yang dianggap selesai setelah melakukan sekali tembak, melainkan lebih merupakan kontinuitas dalam proses pengembangan alat ukur. Sebagaimana prosedur validasi yang lain, validasi prediktif pada setiap tahapnya haruslah diikuti oleh usaha peningkatan kualitas item alat ukur dalam bentuk revisi, modifikasi, dan penyusunan item-item baru agar prosedur yang dilakukan itu mempunyai arti yang lebih besar dan bukan sekedar pengujian secara deskriptif saja.
Validitas Konkuren. Apabila skor alat ukur dan skor kriterianya dapat diperoleh dalam waktu yang sama, maka korelasi antara kedua skor termaksud merupakan koefisien validitas konkuren.
Suatu contoh dimana validitas konkuren layak diuji adalah apabila kita menyusun suatu skala kecemasan yang baru. Untuk menguji validitas skala tersebut kita dapat mengunakan skala kecemasan lain yang telah lebih dahulu teruji validitasnya, yaitu dengan alat ukur TMAS (Tylor Manifest Anxiety Scale).
Validitas konkuren merupakan indikasi validitas yang memadai apabila alat ukur tidak digunakan sebagai suatu prediktor dan merupakan validitas yang sangat penting dalam situasi diagnostik. Bila alat ukur dimaksudkan sebagai prediktor maka validitas konkuren tidak cukup memuaskan dan validitas prediktif merupakan keharusan.
Konsep Pengukuran Validitas
Pengukuran validitas sebenarnya dilakukan untuk mengetahui seberapa besar (dalam arti kuantitatif) suatu aspek psikologis terdapat dalam diri seseorang, yang dinyatakan oleh skor pada instrumen pengukur yang bersangkutan.
Dalam hal pengukuran ilmu sosial, validitas yang ideal tidaklah mudah untuk dapat dicapai. Pengukuran aspek-aspek psikologis dan sosial mengandung lebih banyak sumber kesalahan (error) daripada pengukuran aspek fisik. Kita tidak pernah dapat yakin bahwa validitas instrinsik telah terpenuhi dikarenakan kita tidak dapat membuktikannya secara empiris dengan langsung.
Pengertian validitas alat ukur tidaklah berlaku umum untuk semua tujuan ukur. Suatu alat ukur menghasilkan ukuran yang valid hanya bagi satu tujuan ukur tertentu saja. Tidak ada alat ukur yang dapat menghasilkan ukuran yang valid bagi berbagai tujuan ukur. Oleh karena itu, pernyataan seperti "alat ukur ini valid" belumlah lengkap apabila tidak diikuti oleh keterangan yang menunjukkan kepada tujuannya, yaitu valid untuk apa dan valid bagi siapa. Itulah yang ditekankan oleh Cronbach (dalam Azwar 1986) bahwa dalam proses validasi sebenarnya kita tidak bertujuan untuk melakukan validasi alat ukur akan tetapi melakukan validasi terhadap interpretasi data yang diperoleh oleh prosedur tertentu.
Dengan demikian, walaupun kita terbiasa melekatkan predikat valid bagi suatu alat ukur akan tetapi hendaklah selalu kita pahami bahwa sebenarnya validitas menyangkut masalah hasil ukur bukan masalah alat ukurnya sendiri. Sebutan validitas alat ukur hendaklah diartikan sebagi validitas hasil pengukuran yang diperoleh oleh alat ukur tersebut.

validasi dan verifikasi metode

Validasi dan Verifikasi Metode


Validasi dan Verifikasi Metode
Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita, 2004). Menurut Harvey (2000), validasi merupakan suatu proses evaluasi kecermatan dan keseksamaan yang dihasilkan oleh suatu prosedur dengan nilai yang dapat diterima. Sebagai tambahan, validasi memastikan bahwa suatu prosedur tertulis memiliki detail yang cukup jelas sehingga dapat dilaksanakan oleh analis atau laboratorium yang berbeda dengan hasil yang sebanding.
Verifikasi metode adalah suatu tindakan validasi metode tetapi hanya pada beberapa beberapa karakteristik performa saja. Laboratorium harus menentukan karakteristik performa yang dibutuhkan. Spesifikasi analisis dapat menjadi acuan untuk merancang proses verifikasi. Rancangan yang baik akan menghasilkan informasi yang dibutuhkan serta meminimalisir tenaga, waktu, serta biaya. Pemilihan parameter validasi atau verifikasi tergantung pada beberapa faktor seperti aplikasi, sampel uji, tujuan metode, dan peraturan lokal atau internasional.
Adapun beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam verifikasi metode analisis :
Akurasi
Akurasi atau kecermatan adalah ukuran yang menunjukan derajat kedekatan hasil analis dengan kadar analit yang sebenarnya. Terkadang masalah dalam menentukan akurasi adalah ketidaktahuan terhadap nilai yang sebenarnya. Dalam beberapa tipe sampel kita dapat menggunakan sampel yang telah diketahui nilainya dan mengecek metode pengukuran  kita gunakan untuk menganalisis sampel itu sehingga kita mengetahui akurasi dari prosedur yang diujikan, metode ini disebut dengan CRM (Certified Reference Method). Pendekatan lain adalah dengan membandingkan hasilnya dengan hasil yang dilakukan oleh laboratorium lain atau dengan menggunakan metode referen. Akurasi juga dapat diketahui dengan melakukan uji peoleahan kembali (recovery). Hasil uji ini akurasi dapat dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan pada sampel. Rentang nilai penerimaan kecermatan suatu metode akan bervariasi sesuai kebutuhannya. Adapun AOAC menetapkannya seperti dalam Tabel 1.

Tabel 1 Persentase recovery yang dapat diterima sesuai dengan konsentrasi analit
(%) analit                          Unit                                   Rata-rata recovery (%)
 
100                                         100%                                        98-102
10                                           10%                                          95-102
1                                              1%                                           97-103
0.1                                           0.10%                                      95-105
0.01                                         100 ppm                                  90-107
0.001                                       10 ppm                                    80-110
0.0001                                     1 ppm                                      80-110
0.00001                                   100 ppb                                   80-110
0.000001                                 10 ppb                                     60-115
0.0000001                               1 ppb                                       40-120
(sumber: AOAC 2002)
Sampel ditambahkan (spiking) dengan standar yang telah diketahui jumlah dan kadarnya. Kadar analit dalam penambahan baku dapat dihitung  sebagai berikut;

C  = kadar analit dalam sampel
S   = kadar analit yang ditambahkan pada sampel
R1 = respon yang diberikan sampel
R2 = respon yang diberikan campuran sampel dan analit
Perhitungan perolehan kembali dapat juga ditetapkan dengan rumus sebagai berikut :




CF = konsentrasi total sampel yang diperoleh dari pemgukuran
CA = konsentrasi sampel sebenarnya
C*A = konsentrasi analit yang ditambahkan        
(Harmita, 2004).
Presisi
Presisi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen (Harmita, 2004). Presisi dapat dibagi dalam dua kategori yaitu keterulangan atau ripitabilitas (repeatability) dan ketertiruan (reproducibility). Ripitabilitas adalah nilai presisi yang diperoleh jika seluruh pengukuran dihasilkan oleh satu orang analis dalam satu periode tertentu, menggunakan pereaksi dan peralatan yang sama dalam laboratorium yang sama. Ketertiruan adalah nilai presisi yang dihasilkan pada kondisi yang berbeda, termasuk analis yang berbeda, atau periode dan laboratorium yang berbeda dengan analis yang sama. Karena ketertiruan dapat memperbanyak sumber variasi, ketertiruan dari analisis tidak akan lebih baik hasilnya dari nilai keterulangan. Presisi dalam hal ripitabilitas diukur dengan menghitung relative standard deviation atau simpangan baku relatif (RSD) dari beberapa ulangan dan dari nilai simpangan baku tersebut dapat dihitung nilai koefisien varian (KV). Dari nilai KV yang diperoleh dibandingkan dengan KV Horwitz yaitu suatu kurva berbentuk terompet yang menghubungkan reproducibilitas (presisi yang dinyatakan sebagai %KV) dengan konsentrasi analit. Presisi metode analisis diekspresikan sebagai fungsi dari konsentrasi melalui persamaan :
KV Horwits = 2 1-0,5 log C
Dengan menggunakan pembanding KV Horwits nilai yang dapat diterima untuk ripitabilitas adalah KV yang terhitung dari ulangan yang ada harus kurang dari 2/3 dari nilai KV Horwits  (Harvey, 2000).
Linieritas
Linieritas metode analisis menunjukkan kemampuan suatu metode untuk memperoleh hasil uji, yang baik langsung maupun dengan definisi transformasi matematis yang baik, proporsional dengan konsentrasi analat dalam sampel pada range tertentu (Leyva, 2008). Linieritas dapat diuji secara informal dengan membuat plot residual yang dihasilkan oleh regresi linier pada respon konsentrasi dalam satu seri kalibrasi (Thompson, 2002). Linieritas harus dievaluasi dengan pemeriksaan visual terhadap plot absorbansi yang merupakan fungsi dari konsentrasi analat. Jika hubungannya linier, hasil uji dievaluasi lebih lanjut secara statistik dengan perhitungan garis regresi. Dalam penentuan linieritas, sebaiknya menggunakan minimum lima konsentrasi. Rentang penerimaan linieritas tergantung dari tujuan pengujian. Pada kondisi yang umum, nilai koefisien regresi (r2) ≥ 0,99 (EMA, 1995).
Sebagai parameter adanya hubungan linier digunakan koefisien korelasi r pada analisis regresi linier Y= aX+b. Hubungan linier yang ideal dicapai jika nilai a=0 dan r=+1 atau -1 bergantung pada arah garis. Sedangkan b menunjukan kepekaan analisis terutama instrumen yang digunakan. Nilai koefisien korelasi yang memenuhi persyaratan adalah sebesar ≥ 0,99970 (ICH, 1995), ≥ 97 (SNI) atau ≥ 0,9980(AOAC).
Limit Deteksi dan Limit Kuantitasi
Limit deteksi atau Limit of Detection (LOD) suatu metode analisis adalah jumlah terkecil dari analit yang dapat dideteksi namun jumlah ini belum tentu dapat dikuantisasi dengan presisi yang baik oleh metode tersebut. Limit kuantitasi atau Limit of Quantitation (LOQ) yang disebut juga limit determinasi adalah konsentrasi terendah dari analat yang dapat ditentukan secara kuantitatif dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima. Giese dengan menentukan kurva kalibrasi menggunakan sepuluh level konsentrasi, atau melakukan analisis blanko berulang. Tetapi ada masalah dalam pendekatan menggunakan blanko karena seringkali sulit diukur dan variasinya sangat tinggi. Lebih lanjut, nilai yang didapat dengan pendekatan seperti ini tidak bergantung dari analit. Limit deteksi hanya berguna untuk mengontrol ketidakmurnian yang tidak diinginkan yang konsentrasinya harus tidak lebih dari level tertentu dan mengontrol kontaminan dengan konsentrasi rendah, sedangkan materi yang bermanfaat harus ada pada konsentrasi yang cukup tinggi agar dapat menjadi fungsional. Limit deteksi dan kuantitasi seringkali bergantung pada kemampuan instrumen (AOAC, 2002).
Pada analisis instrumen batas deteksi dapat dihitung dengan mengukur respon blanko beberapa kali lalu dihitung simpangan baku respon blanko dan formula di bawah ini dapat digunakan untuk perhitungan;
Q = LOD (batas deteksi) atau LOQ (batas kuantitasi)
K = 3 untuk batas deteksi atau 10 untuk batas kuntitasi
Sb = simpangan baku respon analit dari blanko
SI = arah garis linear ( kepekaan arah) dari kurva antara respon terhadap konsentrasi sama dengan slope (b pada persamaan garis Y= a + bx).
Limit deteksi dan limit kuantisasi, limit deteksi (LOD) adalah konsentrasi terendah yang masih dapat terdeteksi oleh suatu alat. Besar limit deteksi biasanya dinyatakan dengan nilai rata-rata blangko + 3 S, dimana S adalah standar deviasi (simpangan baku) dari blangko. Sedangkan limit kuantitasi adalah konsentrasi terendah yang dapat ditentukan dengan besar presisi dan akurasi ynag dapat diterima. Besar limit kuantitasi biasanya dinnyuatakan dengan nilai rata-rata blanko +10 S.
Cara lain untuk menentukan batas deteksi dan kuantitasi adalah melalui penentuan rasio S/N (signal to noise ratio). Nilai simpangan baku blanko ditentukan dengan cara menghitung tinggi derau pada pengukuran blanko sebanyak 20 kali pada analit yang memberikan respon (Harmita, 2004).
Uji t dan F
Uji signifikansi meliputi uji t-student dan uji F . Uji t membandingkan rata-rata ulangan yang dilakukan oleh dua metode dan membuat asumsi dasar atau hipotesis nol, bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata dari dua set data (James, 1999). Uji t memberikan jawaban ya atau tidak terhadap pembenaran dari hipotesis nol dengan keyakinan yang pasti, seperti 95% atau bahkan 99%. Nilai kritik untuk t didapat dari tabel pada derajat bebas yang tepat. Jika nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel maka hipotesis nol dapat ditolak yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara dua metode. Nilai t hitung didapat dari rumus; 

dengan derajat bebas sebesar n1+n2-2
Uji F atau uji rasio-varian digunakan untuk membandingkan antara dua standar deviasi, yang berarti membandingkan pula ketelitian antara dua metode. Asumsi dasar atau hipotesis nol dari uji ini adalah bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara dua standar deviasi. Hipotesis nol ditolak jika nilai F hitung lebih besar dari nilai F tabel yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara ketelitian dua metode.
Nilai F hitung didapat dari rumus :
Keterangan : nilai s yang lebih besar ditempatkan sebagai pembilang sehingga F >1
Anova                   
Selain uji t dan F juga digunakan uji One Way Anova untuk menguji apakah rata-rata lebih dari dua sampel berbeda secara signifikan atau tidak. Hipotesis nol (H0) yaitu rata-rata populasi adalah identik, sedangkan hipotesis tandingannya (H1) yaitu rata-rata populasi tidak identik. H0 diterima jika nilai probabilitas > 0.05 dan H0 ditolak jika probabilitas < 0.05 (Santoso 2000).
Bahan Acuan
Bahan acuan memainkan peranan penting untuk mengeahui akurasi dalam melakukan validasi atau verifkasi. Bahan acuan disini dapat diartikan sebaga bahan atau zat yang memiliki sifat-sifat tertentu yang cukup homogen dan stabil yang telah ditetapkan untuk dapat digunakan dalam pengukuran atau dalam pengujian suatu contoh. Bahan acuan dapat digunakan untuk mengontrol presisi pengukuran walaupun bahan acuan tidak memiliki nilai acuan (assigned value), sedangkan untuk kalibrasi atau untuk mengontrol kebenaran pengukuran hanya bahan acauan yang memiliki nilai acuan yang dapat digunakan (Dara, 2010). Kalibrasi dan pengontrolan analisis sangat penting, karena menyangkut kehandalan hasil pengujian. Untuk pengambilan keputusan yang krusial diperlukan hasil pengujian yang dapat dipercaya (Nuryatini 2010).
Bahan acuan dapat dibagi menjadi dua yaitu Certified Reference Material (CRM) dan Standard Reference Material (SRM). CRM dapat ditelusur hingga standar internasional dengan ketidakpastian yang telah diketahui dan oleh karena itu dapat digunakan untuk mengukur semua aspek bias secara bersamaan, dengan asumsi bahwa tidak ada ketidaksesuaian matriks. Perlu dipastikan bahwa nilai ketidakpastian yang dimiliki cukup kecil sehingga dapat mendeteksi bias pada kisaran tertentu. Tetapi jika nilainya tidak cukup kecil, penggunaan CRM masih dianjurkan, tetapi dengan disertai dengan pengujian tambahan. Jika diperlukan dan dapat dilakukan, sejumlah CRM yang sesuai dengan matriks dan konsentrasi analit sebaiknya diujikan.
SRM dapat digunakan jika tidak ada CRM. SRM adalah material yang telah dikarakterisasi dengan baik untuk tujuan validasi. Hal yang perlu diperhatikan adalah jika nilai bias tidak signifikan, hal ini bukan berarti merupakan bukti bahwa tidak adanya bias sama sekali. Akan tetap jika terdapat bias yang signifikan, hal ini menandakan perlunya investigasi lebih lanjut. SRM dapat berupa material yang telah dikarakterisasi oleh produsen CRM tetapi tidak dilengkapi dokumen mengenai nilai ketidakpastiannya atau material yang telah terkualifikasi oleh sebuah manufakturer; materials yang dikarakterisasi dalam laboratorium sebagai reference material, dan material yang didistribusikan dalam proficiency test. Meskipun ketertelusuran dari material tersebut dipertanyakan, jauh lebih baik untuk menggunakan material tersebut dibandingkan tidak melakukan pengukuran terhadap bias sama sekali. Material dapat digunakan dengan cara yang sama seperti CRM, sekalipun tidak ada nilai ketidakpastian yang tercantum, seluruh pengujian yang signifikan bergantung seluruhnya pada presisi yang dapat diamati dari hasil (Thompson, 2002).

Sabtu, 15 Februari 2014

Atomic absorption spectroscopi

Modern atomic absorption spectrometers

Atomic absorption spectroscopy (AAS) is a spectroanalytical procedure for the quantitative determination of chemical elements using the absorption of optical radiation (light) by free atoms in the gaseous state.

In analytical chemistry the technique is used for determining the concentration of a particular element (the analyte) in a sample to be analyzed. AAS can be used to determine over 70 different elements in solution or directly in solid samples used in pharmacology, biophysics and toxicology research.

Atomic absorption spectroscopy was first used as an analytical technique, and the underlying principles were established in the second half of the 19th century by Robert Wilhelm Bunsen and Gustav Robert Kirchhoff, both professors at the University of Heidelberg, Germany.

The modern form of AAS was largely developed during the 1950s by a team of Australian chemists. They were led by Sir Alan Walsh at the Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO), Division of Chemical Physics, in Melbourne, Australia.[1]

Atomic absorption spectrometry has many uses in different areas of chemistry such as:

  • Clinical analysis: Analyzing metals in biological fluids and tissues such as whole blood, plasma, urine, saliva, brain tissue, liver, muscle tissue, semen

  • Pharmaceuticals: In some pharmaceutical manufacturing processes, minute quantities of a catalyst that remain in the final drug product

  • Water analysis: Analyzing water for its metal content.


Principles

The technique makes use of absorption spectrometry to assess the concentration of an analyte in a sample. It requires standards with known analyte content to establish the relation between the measured absorbance and the analyte concentration and relies therefore on the Beer-Lambert Law.

In short, the electrons of the atoms in the atomizer can be promoted to higher orbitals (excited state) for a short period of time (nanoseconds) by absorbing a defined quantity of energy (radiation of a given wavelength). This amount of energy, i.e., wavelength, is specific to a particular electron transition in a particular element. In general, each wavelength corresponds to only one element, and the width of an absorption line is only of the order of a few picometers (pm), which gives the technique its elemental selectivity. The radiation flux without a sample and with a sample in the atomizer is measured using a detector, and the ratio between the two values (the absorbance) is converted to analyte concentration or mass using the Beer-Lambert Law.

Instrumentation

Atomic absorption spectrometer block diagram

In order to analyze a sample for its atomic constituents, it has to be atomized. The atomizers most commonly used nowadays are flames and electrothermal (graphite tube) atomizers. The atoms should then be irradiated by optical radiation, and the radiation source could be an element-specific line radiation source or a continuum radiation source. The radiation then passes through a monochromator in order to separate the element-specific radiation from any other radiation emitted by the radiation source, which is finally measured by a detector.

Atomizers

The atomizers most commonly used nowadays are (spectroscopic) flames and electrothermal (graphite tube) atomizers. Other atomizers, such as glow-discharge atomization, hydride atomization, or cold-vapor atomization might be used for special purposes.

Flame atomizers

The oldest and most commonly used atomizers in AAS are flames, principally the air-acetylene flame with a temperature of about 2300 °C and the nitrous oxide system (N2O)-acetylene flame with a temperature of about 2700 °C. The latter flame, in addition, offers a more reducing environment, being ideally suited for analytes with high affinity to oxygen.

A laboratory flame photometer that uses a propane operated flame atomizer

Liquid or dissolved samples are typically used with flame atomizers. The sample solution is aspirated by a pneumatic analytical nebulizer, transformed into an aerosol, which is introduced into a spray chamber, where it is mixed with the flame gases and conditioned in a way that only the finest aerosol droplets (< 10 μm) enter the flame. This conditioning process is responsible that only about 5% of the aspirated sample solution reaches the flame, but it also guarantees a relatively high freedom from interference.

On top of the spray chamber is a burner head that produces a flame that is laterally long (usually 5–10 cm) and only a few mm deep. The radiation beam passes through this flame at its longest axis, and the flame gas flow-rates may be adjusted to produce the highest concentration of free atoms. The burner height may also be adjusted, so that the radiation beam passes through the zone of highest atom cloud density in the flame, resulting in the highest sensitivity.

The processes in a flame include the following stages:

  • Desolvation (drying) – the solvent is evaporated and the dry sample nano-particles remain;

  • Vaporization (transfer to the gaseous phase) – the solid particles are converted into gaseous molecules;

  • Atomization – the molecules are dissociated into free atoms;

  • Ionization – depending on the ionization potential of the analyte atoms and the energy available in a particular flame, atoms might be in part converted to gaseous ions.

Each of these stages includes the risk of interference in case the degree of phase transfer is different for the analyte in the calibration standard and in the sample. Ionization is generally undesirable, as it reduces the number of atoms that are available for measurement, i.e., the sensitivity.

In flame AAS a steady-state signal is generated during the time period when the sample is aspirated. This technique is typically used for determinations in the mg L-1 range, and may be extended down to a few μg L-1 for some elements.

Electrothermal atomizers

Electrothermal AAS (ET AAS) using graphite tube atomizers was pioneered by Boris V. L’vov at the Saint Petersburg Polytechnical Institute, Russia, since the late 1950s, and further investigated by Hans Massmann at the Institute of Spectrochemistry and Applied Spectroscopy (ISAS) in Dortmund, Germany.

Although a wide variety of graphite tube designs have been used over the years, the dimensions nowadays are typically 20–25 mm in length and 5–6 mm inner diameter. With this technique liquid/dissolved, solid and gaseous samples may be analyzed directly. A measured volume (typically 10–50 μL) or a weighed mass (typically around 1 mg) of a solid sample are introduced into the graphite tube and subject to a temperature program. This typically consists of stages, such as:

  • Drying – the solvent is evaporated

  • Pyrolysis – the majority of the matrix constituents is removed

  • Atomization – the analyte element is released to the gaseous phase

  • Cleaning – eventual residues in the graphite tube are removed at high temperature.

The graphite tubes are heated via their ohmic resistance using a low-voltage high-current power supply; the temperature in the individual stages can be controlled very closely, and temperature ramps between the individual stages facilitate separation of sample components. Tubes may be heated transversely or longitudinally, where the former ones have the advantage of a more homogeneous temperature distribution over their length. The so-called Stabilized Temperature Platform Furnace (STPF) concept, proposed by Walter Slavin, based on research of Boris L’vov, makes ET AAS essentially free from interference. The major components of this concept are:

  • Atomization of the sample from a graphite platform inserted into the graphite tube (L’vov platform) instead of from the tube wall in order to delay atomization until the gas phase in the atomizer has reached a stable temperature;

  • Use of a chemical modifier in order to stabilize the analyte to a pyrolysis temperature that is sufficient to remove the majority of the matrix components;

  • Integration of the absorbance over the time of the transient absorption signal instead of using peak height absorbance for quantification.

In ET AAS a transient signal is generated, the area of which is directly proportional to the mass of analyte (not its concentration) introduced into the graphite tube. This technique has the advantage that any kind of sample, solid, liquid or gaseous, can be analyzed directly. Its sensitivity is 2–3 orders of magnitude higher than that of flame AAS, so that determinations in the low μg L-1 range (for a typical sample volume of 20 µL) and ng g-1 range (for a typical sample mass of 1 mg) can be carried out. It shows a very high degree of freedom from interferences, so that ET AAS might be considered the most robust technique available nowadays for the determination of trace elements in complex matrices.

A good reference for GFAA method development.

Specialized atomization techniques

While flame and electrothermal vaporizers are the most common atomization techniques, several other atomization methods are utilized for specialized use.

Glow-discharge atomization

A glow-discharge (GD) device serves as a versatile source, as it can simultaneously introduce and atomize the sample. The glow discharge occurs in a low-pressure argon gas atmosphere between 1 and 10 torr. In this atmosphere lies a pair of electrodes applying a DC voltage of 250 to 1000 V to break down the argon gas into positively charged ions and electrons. These ions, under the influence of the electric field, are accelerated into the cathode surface containing the sample, bombarding the sample and causing neutral sample atom ejection through the process known as sputtering. The atomic vapor produced by this discharge is composed of ions, ground state atoms, and fraction of excited atoms. When the excited atoms relax back into their ground state, a low-intensity glow is emitted, giving the technique its name.

The requirement for samples of glow discharge atomizers is that they are electrical conductors. Consequently, atomizers are most commonly used in the analysis of metals and other conducting samples. However, with proper modifications, it can be utilized to analyze liquid samples as well as nonconducting materials by mixing them with a conductor (e.g. graphite).

Hydride atomization

Hydride generation techniques are specialized in solutions of specific elements. The technique provides a means of introducing samples containing arsenic, antimony, tin, selenium, bismuth, and lead into an atomizer in the gas phase. With these elements, hydride atomization enhances detection limits by a factor of 10 to 100 compared to alternative methods. Hydride generation occurs by adding an acidified aqueous solution of the sample to a 1% aqueous solution of sodium borohydride, all of which is contained in a glass vessel. The volatile hydride generated by the reaction that occurs is swept into the atomization chamber by an inert gas, where it undergoes decomposition. This process forms an atomized form of the analyte, which can then be measured by absorption or emission spectrometry.

Cold-vapor atomization

The cold-vapor technique an atomization method limited to only the determination of mercury, due to it being the only metallic element to have a large enough vapor pressure at ambient temperature. Because of this, it has an important use in determining organic mercury compounds in samples and their distribution in the environment. The method initiates by converting mercury into Hg2+ by oxidation from nitric and sulfuric acids, followed by a reduction of Hg2+ with tin(II) chloride. The mercury, is then swept into a long-pass absorption tube by bubbling a stream of inert gas through the reaction mixture. The concentration is determined by measuring the absorbance of this gas at 253.7 nm. Detection limits for this technique are in the parts-per-billion range making it an excellent mercury detection atomization method.

Radiation sources

We have to distinguish between line source AAS (LS AAS) and continuum source AAS (CS AAS). In classical LS AAS, as it has been proposed by Alan Walsh, the high spectral resolution required for AAS measurements is provided by the radiation source itself that emits the spectrum of the analyte in the form of lines that are narrower than the absorption lines. Continuum sources, such as deuterium lamps, are only used for background correction purposes. The advantage of this technique is that only a medium-resolution monochromator is necessary for measuring AAS; however, it has the disadvantage that usually a separate lamp is required for each element that has to be determined. In CS AAS, in contrast, a single lamp, emitting a continuum spectrum over the entire spectral range of interest is used for all elements. Obviously, a high-resolution monochromator is required for this technique, as will be discussed later.

Hollow cathode lamp (HCL)

Hollow cathode lamps

Hollow cathode lamps (HCL) are the most common radiation source in LS AAS. Inside the sealed lamp, filled with argon or neon gas at low pressure, is a cylindrical metal cathode containing the element of interest and an anode. A high voltage is applied across the anode and cathode, resulting in an ionization of the fill gas. The gas ions are accelerated towards the cathode and, upon impact on the cathode, sputter cathode material that is excited in the glow discharge to emit the radiation of the sputtered material, i.e., the element of interest. Most lamps will handle a handful of elements, i.e. 5-8. A typical machine will have two lamps, one will take care of five elements and the other will handle four elements for a total of nine elements analyzed.

Electrodeless discharge lamps

Electrodeless discharge lamps (EDL) contain a small quantity of the analyte as a metal or a salt in a quartz bulb together with an inert gas, typically argon, at low pressure. The bulb is inserted into a coil that is generating an electromagnetic radio frequency field, resulting in a low-pressure inductively coupled discharge in the lamp. The emission from an EDL is higher than that from an HCL, and the line width is generally narrower, but EDLs need a separate power supply and might need a longer time to stabilize.

Deuterium lamps

Deuterium HCL or even hydrogen HCL and deuterium discharge lamps are used in LS AAS for background correction purposes. The radiation intensity emitted by these lamps is decreasing significantly with increasing wavelength, so that they can be only used in the wavelength range between 190 and about 320 nm.

Xenon lamp as a continuous radiation source

Continuum sources

When a continuum radiation source is used for AAS, it is necessary to use a high-resolution monochromator, as will be discussed later. In addition, it is necessary that the lamp emits radiation of intensity at least an order of magnitude above that of a typical HCL over the entire wavelength range from 190 nm to 900 nm. A special high-pressure xenon short arc lamp, operating in a hot-spot mode has been developed to fulfill these requirements.

Spectrometer

As already pointed out above, there is a difference between medium-resolution spectrometers that are used for LS AAS and high-resolution spectrometers that are designed for CS AAS. The spectrometer includes the spectral sorting device (monochromator) and the detector.

Spectrometers for LS AAS

In LS AAS the high resolution that is required for the measurement of atomic absorption is provided by the narrow line emission of the radiation source, and the monochromator simply has to resolve the analytical line from other radiation emitted by the lamp. This can usually be accomplished with a band pass between 0.2 and 2 nm, i.e., a medium-resolution monochromator. Another feature to make LS AAS element-specific is modulation of the primary radiation and the use of a selective amplifier that is tuned to the same modulation frequency, as already postulated by Alan Walsh. This way any (unmodulated) radiation emitted for example by the atomizer can be excluded, which is imperative for LS AAS. Simple monochromators of the Littrow or (better) the Czerny-Turner design are typically used for LS AAS. Photomultiplier tubes are the most frequently used detectors in LS AAS, although solid state detectors might be preferred because of their better signal-to-noise ratio.

Spectrometers for CS AAS

When a continuum radiation source is used for AAS measurement it is indispensable to work with a high-resolution monochromator. The resolution has to be equal to or better than the half width of an atomic absorption line (about 2 pm) in order to avoid losses of sensitivity and linearity of the calibration graph. The research with high-resolution (HR) CS AAS was pioneered by the groups of O’Haver and Harnly in the USA, who also developed the (up until now) only simultaneous multi-element spectrometer for this technique. The break-through, however, came when the group of Becker-Ross in Berlin, Germany, built a spectrometer entirely designed for HR-CS AAS. The first commercial equipment for HR-CS AAS was introduced by Analytik Jena (Jena, Germany) at the beginning of the 21st century, based on the design proposed by Becker-Ross and Florek. These spectrometers use a compact double monochromator with a prism pre-monochromator and an echelle grating monochromator for high resolution. A linear charge coupled device (CCD) array with 200 pixels is used as the detector. The second monochromator does not have an exit slit; hence the spectral environment at both sides of the analytical line becomes visible at high resolution. As typically only 3–5 pixels are used to measure the atomic absorption, the other pixels are available for correction purposes. One of these corrections is that for lamp flicker noise, which is independent of wavelength, resulting in measurements with very low noise level; other corrections are those for background absorption, as will be discussed later.

Background absorption and background correction

The relatively small number of atomic absorption lines (compared to atomic emission lines) and their narrow width (a few pm) make spectral overlap rare; there are only very few examples known that an absorption line from one element will overlap with another. Molecular absorption, in contrast, is much broader, so that it is more likely that some molecular absorption band will overlap with an atomic line. This kind of absorption might be caused by un-dissociated molecules of concomitant elements of the sample or by flame gases. We have to distinguish between the spectra of di-atomic molecules, which exhibit a pronounced fine structure, and those of larger (usually tri-atomic) molecules that don’t show such fine structure. Another source of background absorption, particularly in ET AAS, is scattering of the primary radiation at particles that are generated in the atomization stage, when the matrix could not be removed sufficiently in the pyrolysis stage.

All these phenomena, molecular absorption and radiation scattering, can result in artificially high absorption and an improperly high (erroneous) calculation for the concentration or mass of the analyte in the sample. There are several techniques available to correct for background absorption, and they are significantly different for LS AAS and HR-CS AAS.

Background correction techniques in LS AAS

In LS AAS background absorption can only be corrected using instrumental techniques, and all of them are based on two sequential measurements, firstly, total absorption (atomic plus background), secondly, background absorption only, and the difference of the two measurements gives the net atomic absorption. Because of this, and because of the use of additional devices in the spectrometer, the signal-to-noise ratio of background-corrected signals is always significantly inferior compared to uncorrected signals. It should also be pointed out that in LS AAS there is no way to correct for (the rare case of) a direct overlap of two atomic lines. In essence there are three techniques used for background correction in LS AAS:

Deuterium background correction

This is the oldest and still most commonly used technique, particularly for flame AAS. In this case, a separate source (a deuterium lamp) with broad emission is used to measure the background absorption over the entire width of the exit slit of the spectrometer. The use of a separate lamp makes this technique the least accurate one, as it cannot correct for any structured background. It also cannot be used at wavelengths above about 320 nm, as the emission intensity of the deuterium lamp becomes very weak. The use of deuterium HCL is preferable compared to an arc lamp due to the better fit of the image of the former lamp with that of the analyte HCL.

Smith-Hieftje background correction

This technique (named after their inventors) is based on the line-broadening and self-reversal of emission lines from HCL when high current is applied. Total absorption is measured with normal lamp current, i.e., with a narrow emission line, and background absorption after application of a high-current pulse with the profile of the self-reversed line, which has little emission at the original wavelength, but strong emission on both sides of the analytical line. The advantage of this technique is that only one radiation source is used; among the disadvantages are that the high-current pulses reduce lamp lifetime, and that the technique can only be used for relatively volatile elements, as only those exhibit sufficient self-reversal to avoid dramatic loss of sensitivity. Another problem is that background is not measured at the same wavelength as total absorption, making the technique unsuitable for correcting structured background.

Zeeman-effect background correction

An alternating magnetic field is applied at the atomizer (graphite furnace) to split the absorption line into three components, the π component, which remains at the same position as the original absorption line, and two σ components, which are moved to higher and lower wavelengths, respectively (see Zeeman Effect). Total absorption is measured without magnetic field and background absorption with the magnetic field on. The π component has to be removed in this case, e.g. using a polarizer, and the σ components do not overlap with the emission profile of the lamp, so that only the background absorption is measured. The advantages of this technique are

  1. that total and background absorption are measured with the same emission profile of the same lamp, so that any kind of background, including background with fine structure can be corrected accurately, unless the molecule responsible for the background is also affected by the magnetic field

  2. using a chopper as a polariser reduces the signal to noise ratio. While the disadvantages are the increased complexity of the spectrometer and power supply needed for running the powerful magnet needed to split the absorption line.

Background correction techniques in HR-CS AAS

In HR-CS AAS background correction is carried out mathematically in the software using information from detector pixels that are not used for measuring atomic absorption; hence, in contrast to LS AAS, no additional components are required for background correction.

Background correction using correction pixels

It has already been mentioned that in HR-CS AAS lamp flicker noise is eliminated using correction pixels. In fact, any increase or decrease in radiation intensity that is observed to the same extent at all pixels chosen for correction is eliminated by the correction algorithm. This obviously also includes a reduction of the measured intensity due to radiation scattering or molecular absorption, which is corrected in the same way. As measurement of total and background absorption, and correction for the latter, are strictly simultaneous (in contrast to LS AAS), even the fastest changes of background absorption, as they may be observed in ET AAS, do not cause any problem. In addition, as the same algorithm is used for background correction and elimination of lamp noise, the background corrected signals show a much better signal-to-noise ratio compared to the uncorrected signals, which is also in contrast to LS AAS.

Background correction using a least-squares algorithm

The above technique can obviously not correct for a background with fine structure, as in this case the absorbance will be different at each of the correction pixels. In this case HR-CS AAS is offering the possibility to measure correction spectra of the molecule(s) that is (are) responsible for the background and store them in the computer. These spectra are then multiplied with a factor to match the intensity of the sample spectrum and subtracted pixel by pixel and spectrum by spectrum from the sample spectrum using a least-squares algorithm. This might sound complex, but first of all the number of di-atomic molecules that can exist at the temperatures of the atomizers used in AAS is relatively small, and second, the correction is performed by the computer within a few seconds. The same algorithm can actually also be used to correct for direct line overlap of two atomic absorption lines, making HR-CS AAS the only AAS technique that can correct for this kind of spectral interference.